0
Tak terasa sebelas tahun telah berlalu sejak band rap metal asal Amerika Linkin Park merilis album perdana mereka yang sukses besar di seluruh dunia: Hybrid Theory. Sempat dicap sebagai band musiman dengan jenis musik yang tak bertahan lama, band yang beranggotakan Chester Bennington (vokal), Mike Shinoda (vokal), Rob Bourdon (drum), Brad Delson (gitar), Dave Farrell (bass), dan Joe Hahn (DJ) ini membuktikan bahwa mereka masih berjaya, lewat album baru berjudul A Thousand Suns.
Yahoo! Indonesia OMG! berkesempatan berbincang dengan Brad Delson lewat sambungan telepon, satu minggu sebelum Linkin Park datang ke Indonesia untuk menggelar konser di stadion Gelora Bung Karno Jakarta, 21 September 2011. Ini akan jadi kali kedua Linkin Park menghibur penggemarnya di Indonesia setelah kunjungan pertama mereka ke Jakarta tahun 2004 lalu.
Dalam obrolan singkat ini, Brad bercerita tentang betapa pentingnya penggemar di luar Amerika Serikat bagi mereka. Ia juga menjelaskan alasan mengapa kita tak bisa lagi menyebut Linkin Park sebagai band rap metal.
Ini akan jadi kunjungan kalian yang kedua kalinya ke Jakarta. Apa yang kalian harapkan?
Saya ingat, di kunjungan kami yang pertama, kami sangat bersenang-senang di Jakarta. Konsernya berjalan dengan sangat baik. Jadi kami senang sekali bisa kembali ke Indonesia dan berbagi lagu-lagu di album A Thousand Suns dengan penggemar di Indonesia.
Di website Linkin Park, kalian meng-upload sebuah blog video mengumumkan konser di Jakarta. Blog itu juga kalian tulis dengan Bahasa Indonesia. Sepenting apa sih penggemar di Indonesia bagi kalian?
Sejak awal kami bermusik, salah satu tujuan kami adalah membagi musik kami kepada pendengar di luar Amerika Serikat. Kami sudah lebih dari sepuluh tahun berkeliling dunia, dan hampir di setiap negara kami merasa seperti band lokal. Sambutan penggemar kepada kami sangat hangat sampai-sampai kami merasa sebagai band lokal. Bahkan dukungan mereka lebih kuat dibanding penggemar di Amerika Serikat. Kami pun merasakan koneksi dengan kalian lebih kuat dengan yang kami rasakan dengan penggemar di kampung halaman kami sendiri.
Kalian sudah tiga kali mengisi soundtrack film Transformers. Apa kalian memang suka film itu?
Kami merasa ada ikatan yang kuat antara Transformers dengan musik kami. Apalagi kami semua punya mainan robot Transformers waktu kecil. Sebelum film pertama Transformers dibuat, kami sudah bertemu dengan orang-orang di balik film itu dan membicarakan kemungkinan untuk melakukan kerjasama. Kerjasama yang kami lakukan sangat kuat, bahkan bagi kami lebih terasa seperti pernikahan antara Linkin Park dengan Transformers. Berkat kerjasama ini pula kami bisa memperkenalkan musik Linkin Park kepada banyak orang yang mungkin awalnya tak mendengarkan musik kami.
Film Transformers mana yang paling kamu suka?
Kalau bicara tentang special effect, jelas film pertama. Teknologi yang mereka gunakan sangatground-breaking, belum pernah dilakukan oleh film-film lain sebelumnya. Mereka juga berhasil membuat robot-robotnya jadi manusiawi.
Jadi, kamu lebih pilih Megan Fox atau Rosie Huntington-Whiteley?
Hahaha... Saya bingung menjawabnya. Dua-duanya deh. All of the above. Hahaha...
Album A Thousand Suns baru dirilis tahun 2010, tapi katanya kalian sudah mulai mengerjakan album berikutnya. Benarkah?
Kami tak pernah berhenti menulis lagu. Tapi saat ini fokus kami masih pada tur dan mempromosikan A Thousand Suns.
Sepuluh tahun lalu, kalian adalah band rap metal. Sekarang musik kalian sudah berbeda. Apakah penggemar kalian masih sama?
Setelah sepuluh tahun, selera musik kami berubah. Kami yakin selera musik penggemar kami pun berubah. Ada satu hal yang paling kami hindari, dan itu adalah membuat sesuatu yang sudah pernah kami buat sebelumnya. Jadi kami memilih untuk berkembang dan berubah. Musik bukan sesuatu yang statis. Ia selalu berkembang dan berubah. Linkin Park ingin selalu memunculkan ide-ide baru dan berubah agar kami tak memproduksi sesuatu yang sudah ada.
Apa yang membuat kalian masih bertahan setelah lebih dari sepuluh tahun dan berganti jenis musik?
Kami selalu memperlakukan band kami sebagai band baru. Kami tidak menganggap bahwa mentang-mentang album perdana Linkin Park disukai banyak orang, penggemar akan tetap setia dan menyukai album-album berikutnya. Tidak seperti itu. Kami selalu mencari pendekatan yang baru, yang cutting edge, agar musik kami selalu bisa diterima. Kami juga selalu melibatkan emosi dalam lagu-lagu kami, sehingga kami mengerjakan materi album-album kami dengan sepenuh hati.
Linkin Park dikenal sebagai band yang serius dalam menggarap video klip. Video klip mana yang jadi favoritmu?
Secara pribadi saya suka Breaking The Habit, video klip kami yang formatnya anime. Itu adalah hasil kerjasama Joe Hahn dengan seorang animator terkenal asal Jepang. Video klip Faint juga bagus, banyak yang bilang bahwa video itu sangat ikonik. Sedangkan video klip yang paling berhasil menggambarkan emosi lagu adalah Irridescent, lagu kami yang jadi soundtrack Transformers 3.
Kabarnya sebanyak Rp 10 ribu rupiah dari satu tiket konser kalian di Jakarta yang berhasil terjual akan disumbangkan kepada korban bencana alam Gunung Lokon di Sulawesi. Apa alasan kalian memilih Gunung Lokon?
Sejujurnya kami tidak tahu siapa yang akan menerima donasi tersebut, tapi kami memang selalu menyisihkan hasil penjualan tiket, minimal satu dollar dari setiap tiket, untuk disumbangkan lewat yayasan Music For Relief. Ini adalah yayasan yang menyalurkan donasi kepada para korban bencana alam di seluruh dunia. Mereka yang nantinya memilih akan memberi ke mana. Kami tidak punya info lebih banyak tentang detail donasi ini, yang jelas di semua konser Linkin Park, kami selalu memberikan sebagian hasil penjualannya kepada Music For Relief untuk disalurkan kepada yang membutuhkan.